Tanjungpinang, (MetroKepri) – Dalam pemilihan calon anggota legislatif Pemilu 2024, Pengamat Politik, Dr. Bismar Arianto, mengidentifikasi lima faktor yang memicu terjadinya praktik money politik di Kota Tanjungpinang.
Salah satu pemicu utama adalah sistem pemilu yang terlalu liberal. Sistem itu membuka peluang sebesar besarnya praktik politik uang.
“Kita ambil lagi poinnya, apa pemainnya terlalu banyak. Jadi ketika pemainnya banyak. Semua orang berupaya untuk mendapatkan suara itu, maka konsekuensinya apa, ada yang menghalalkan berbagai cara yang tidak dibolehkan oleh undang undang,” papar Bismar kepada media ini, Rabu (24/01/2024).
Ditambah lagi, kata dia, ada aturan Pemilu yang membuka ruang itu. Apa aturan Pemilu membuka ruang itu?. Yakni caleg boleh memberi cinderamata kepada pemilih.
“Saya tidak ingat persis, kalau tidak salah maksimal 50 ribu. Itu sama saja secara tidak langsung melegalkan mekanisme itu,” ujar Bismar yang juga Dosen UMRAH Tanjungpinang ini.
Selain itu, tambahnya, tidak ada aturan yang membatasi berapa jumlah dana kampanye. Yang dibatasi hanya berapa jumlah dana yang disumbangkan oleh perorangan atau perusahaan atau kelompok.
“Itu yang dibatasi. Tapi caleg tidak ada batasan, mau menggunakan duit satu triliun pun tak ada batasan, yang penting bisa menjelaskan dari mana sumber duit itu. Paling tidak bisa memenuhi unsur administrasi pelaporan uangnya,” ucap Bismar.
Oleh karena itu, apa konsekuensinya ketika tidak ada pembatasan dana kampanye itu, maka caleg yang punya banyak modal akan memobilisasi sebanyak mungkin logistik yang dimilikinya.
“Seharusnya ada pembatasan berapa dana kampanye maksimal digunakan oleh calon, sehingga meminimalisir terjadi hal itu. Sekarang tak ada, ada caleg yang kaya itu betebaran balihonya, betebaran atributnya, bertebaran sembakonya dan seterusnya. Kenapa? Karena tak ada batasan dana kampanye,” katanya.
Faktor kelima, yakni respon pemilih yang permisif terhadap itu. Maksudnya ada orang yang sudah cenderung bisa menerima, apa pemberian money politik. “Itu maksud saya,” tambahnya.
Menurutnya, masyarakat tidak lagi mengkritik terhadap proses money politik tersebut. Itu cenderung hari ini, bahkan nanya, berapa pasarannya?.
“Walaupun tidak semua masyarakat, tapi ada sebagian kecil yang permisif, maksudnya mentolerir proses terjadinya money politik tersebut,” ujarnya.
Jadi, menurutnya, lima hal itu yang mendorong terjadi money politik. Pertama system pemilu yang terlampau liberal, kedua sistem multi partai yang banyak, yang ketiga pencalonan setiap dapil itu boleh 100 persen.
“Keempat tidak ada pembatasan dana kampanye, yang ada pembatasan banyak uang yang disumbangkan. Contoh saya sumbang paling tinggi hanya boleh 250 juta, kalau perusahaan kalau tidak salah dua setengah miliar dan seterusnya. Kelima itu, ada masyarakat yang permisif, ditambah dengan caleg yang juga berinisiatif,” katanya.
Dana Kampanye Caleg Harus Dibatasi
Secara konsep teori, ada dua modal. Satu namanya modal kapital, yakni modal duit. Kedua ada namanya modal sosial. Seharusnya dual hal itu yang dimiliki oleh caleg.
“Caleg punya logistik yang memadai, tetapi juga harus punya modal sosial. Modal sosial maksudnya, caleg yang sudah membangun jejaring, sudah bermasyarakat sehingga tidak lagi sepenuhnya mengandalkan kekuatan logistik,” ucapnya.
Menurutnya, kedua hal itu yang harus dimiliki. Ada orang yang sudah membangun modal sosial, aktif di masyarakat, tapi tidak ada duit, tak bisa juga jadi. Jadi memang harus ada kedua hal itu. Harus ada, modal kapital, duit logistik sama modal sosial. Itulah seharusnya yang baik.
“Tapi dalam praktiknya kan, kadang kadang ada yang punya satu modal saja, hanya modal kapital saja kuat, modal sosial tidak ada, atau ada sebagian orang modal sosialnya kuat tapi duit tak ada,” katanya.
Jadi bisa mengoptimalkan modal sosialnya dengan kemampuan logistik yang ada. Kalau hanya mengandalkan salah satu modal, maka keteteran. Kalau hanya mengandalkan modal kapital, uang logistik itu kan membutuhkan uang yang banyak.
“Ada atau tidak yang menang, ada. Tapi mungkin tidak bisa kasih contoh disini. Tapi dalam kasus pemilihan kepala desa, salah satunya di Jogjakarta,” ungkapnya.
Orang itu mampu mengalahkan incumbent tanpa mengeluarkan duit. Tapi setiap hari harus keliling kampung meyakinkan warga apa yang dibuat.
“Tapi dalam kasus kita, susah mau mencari orang macam itu, untuk menyakinkan itu. Jadi dalam kasus di Tanjungpinang, Kepri. Menurut saya dua hal itu, dia punya modal kapital, punya modal sosial. Kalau hanya salah satu saja, butuh energi lebih untuk bisa. Kalau punya duit pun, tak pandai memetakan, banyak juga duit habis dan dia tak terpilih. Kalau hanya modal sosial saja, kata orang, ‘Waduh hanya air ludah je pak’,” ujarnya.
Walaupun tidak semua masyarakat, tapi ada sekolompok. Idealnya dua itu. Punya duit, tetapi tak boleh mengandalkan duit. Dia harus punya jejaring sosial yang juga harus bagus.
“Dampaknya, kalau terlampau banyak yang melakukan praktik money politik, tentu berdampak kepada kualitas pemilu. Karena, satu jelas melanggar hukum terkait money politik itu,” kata Bismar.
Yang kedua, kata dia, kalau diukur dengan money politik sangat mungkin pemilih itu tidak rasional dalam memilih. Bisa saja orang biasa biasa saja, tak punya kemampuan tapi karena terikat karena diberi sesuatu. Maka terpilih lah calon calon yang tidak punya kualitas,” paparnya.
Apa konsekuensi jangka panjangnya?, Kebijakan yang dilahirkan, tidak akan mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat. Ketika memlih itu, sama saja menyerahkan sebagian hak kepada mereka.
“Persoalannya, mereka mampu atau tidak menjalankan itu, ketika menjadi wakil rakyat. Maka yang dipikirkan adalah rakyat, tidak lagi berbicara kelompok dan golongan,” ucapnya.
Kalau objektif, kata Bismar, besaran uang yang diberikan kepada masyarakat tidak sebanding. Contoh, kalau dikasih uang Rp500.000, maka dibagi lima tahun, dibagi 12 bulan, dibagi 365 hari. Kalau dihitung hitung, hanya 300 rupiah satu harinya. Simulasi itu dilakukan oleh pihak Bawaslu di Jakarta dan ada balihonya.
“Jadi, maksud saya, seharusnya masyarakat harus mulai objektif. Masa kita hanya menggadaikan uang seperti itu, sementara kualitas dan kemampuannya tidak memadai,” ujarnya.
Disisi lain, para caleg juga dituntut punya kesadaran. Kalau tradisi seperti itu dibangunn, kapan mau berubah. Jadi harus dua sisi, masyarakatnya juga menolak, disisi lain partai, kemudian politisi membatasinya.
Kemudian, menurutnya jumlah dana kampanye harus dibatasi. Kalau itu tak dibatasi, umpanya untuk dapil yang sekian desa atau kelurahan, hanya boleh maksimal sekian. Kalaupun orang mau berimplolisasi banyak cara, tetapi paling tidak secara aturan hukum mulai membatasi ruang gerak itu.
“Persoalannya, aturan di kita tidak ada membatasi dana kampanye. Apa konsekuensinya, yang punya modal yang diuntungkan,” katanya.
Oleh karena itu, masyarakat harus membangun sikap yang tidak permisif terhadap politik uang dan dibutuhkan kesadaran bersama. Siapa yang bisa menggerakkan, tentu elemen kunci di masyarakat, bisa tokoh masyarakat, elemen ormas, organisasi keagaman.
“Kalau keagamaan, sudah sering mengeluarkan fatwa, menyuap dan disuap hukumnya haram. Jadi memang, harus sama sama. Itu juga dipengaruhi tingkat pendidikan dan perekonomian,” ujarnya.
Tingkat pendidikan di Indonesia itu, sekitar 26 persen hanya tamat SD, bukan pemilih tapi penduduk. Di Kepri, kisaran 24 persen sampai 25 persen data tahun 2021, itu hanya tamat SD. Apa maknanya, maka konsekuensinya, cenderung tidak rasional dalam memilih.
“Yang kedua faktor ekonomi. Ada kebutuhan orang juga, karena memang kalau kita demokrasi liberal macam ini, butuh tingkat pendidikan yang baik dan butuh tingkat ekonomi yang baik,” katanya.
Oleh karena itu, harus ada aturan hukum untuk membatasi itu. Sekarang ini, kalau hanya terbukti saja, tetapi tidak ada batasan berapa dana kampanye tersebut.
“Mohon maaf, calon yang banyak duitnya, potensi menang. Karena tidak ada batasan, itu juga menjadi catatan. Kalau KPU dan Bawaslu, mereka hanya menjalankan UU saja. Kalau kita menuntut mereka, tentu komitmen menjalankan tugas sebaik mungkin saja. Tapi kalau kita berharap mereka berimprolisasi tidak akan mungkin, karena akan melanggar aturan. Maka aturannya harus dirubah, siapa yang merubah, pemerintah dan DPR,” papar Bismar.
Selain itu, kata dia, pidana pemilu itu ada limitasi. Sudah lewat tanggalnya, tidak bisa diproses. Oleh karena itu, ia menyarankan aturannya dirubah.
“Kalau saya paling konkrit itu merubah aturan. Kalau aturan yang ada, kita berharap kepada penyelenggara konsisten menjalankan tugas dan fungsinya. Kemudian, elemen masyarakat ikut mengawasi pengawasan pemilu, kampus, media, masyarakat, mahasiswa. Kalau hanya berharap, KPU dan Bawaslu berat,” ucapnya. (*)
Penulis: Ian