Logika dan Etika Berkomunikasi Dalam Media Sosial

by -574 views
Nurul Eka Oktalisa
Nurul Eka Oktalisa

Penulis: Nurul Eka Oktalisa

Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Pascasarjana FISIP Universitas Riau

Opini, (MetroKepri) – Logika berkaitan dengan hal benar dan salah, sedangkan etika erat kaitannya dengan hal yang baik dan buruk. Dunia saat ini khususnya untuk berkomunikasi telah melalui transformasi yang semakin canggih, sehingga memudahkan kita selaku manusia dan makhluk sosial untuk berinteraksi guna berkomunikasi.

Salah satu wujud kemudahan tersebut adanya “media sosial”. Berbicara terkait media sosial, kini kita semakin dimudahkan dalam memperoleh informasi, mulai dari informasi yang penting sampai kurang penting, hiburan, edukasi, kesehatan, politik, kecantikan, keajaiban dunia hingga penyebaran berita hoax.

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi, penyebaran berita hoax tentang “tindak kekerasan geng motor wilayah Pekanbaru” yang sempat menggegerkan whatsapp grub hingga adanya himbauan untuk tetap di rumah dan berhati-hati ketika keluar rumah dimalam hari serta himbauan bahwa Polisi sedang patroli dan razia disekitaran Pekanbaru.

Usut punya usut, ternyata berita tersebut merupakan hoax berantai, hal ini diketahui dari video klarifikasi sang pelaku yang mengakui bahwa edaran itu palsu dan foto serta teks yang tersebar adalah kebohongan juga tidak diketahui dimana lokasi asal kejadian dalam foto yang tersebar tersebut dan yang pastinya kejadian itu bukan di Pekanbaru, kini pelaku tersebut diinterogasi dan terbukti bersalah lalu mendapatkan sanksi yakni divonis masuk penjara.

Dari kisah ini, maka hendaknya etika kita selaku komunikator sekaligus komunikan konten media sosial lebih bijak dalam menanggapi suatu fenomena dengan menggunakan logika dan akal sehat tentunya dalam memilih, memilah informasi yang akan kita konsumsi.

Sebaiknya, usut tuntas dan cari tau asal usul informasi tersebut terlebihdahulu, apakah dari sumber yang jelas, media yang kredibel, dan sebagainya hingga kualitas dari informasi tersebut dapat dijadikan bahan edukasi bagi komunikan.

Kita selaku komunikan wajib selektif dalam menyikapi media sosial, menggunakannnya sesuai kebutuhan, sewajarnya saja tidak berlebihan apalagi sampai kecanduan. Karena sesungguhnya dampak dari kecanduan media sosial ini sangatlah merugi, kita kehabisan waktu hanya dengan menatap layar ponsel saja, kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, kesehatan mata menurun, kurang percaya diri, dan masih banyak dampak lainnya.

Berbicara terkait logika dan etika berkomunikasi dalam media sosial, maka dapat dihubungkan dengan bahasan cabang filsafat komunikasi diantaranya adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Sebelum membahas kaitannya, lebih baik kita pahami pengertiannya terlebih dahulu. Ontologi adalah cabang metafisika yang membahas sifat keadaan atau wujud penelitian atas yang ada. Adapun isu ontologi dalam ilmu komunikasi diantaranya adalah;

  • Realisme; realitas sosial terlepas dari manusia, manusia tidak memiliki kehendak bebas (pasif), perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan dari luar (pengalaman), dan konteknya perilaku diatur oleh prinsip universal, dunia objektif.
  • Nominalisme; realitas terikat, manusia bebas memilih perilakunya, aktif, dunia subjektif, perilaku manusia dinamis bisa berubah-ubah, pengalaman perilaku adalah individualis, berdasarkan kebebasannya, dan konteks perilaku kontekstual dan kaya akan makna.
  • Konstruksionisme; posisi pilihan tengah-tengah, maksudnya realitas dinamis dibuat secara bersama, perilku bebas dalam jangkauan tertentu, perilaku manusia dicirikan oleh sifat dan keadaan. Pengalaman manusia dan komunikasinya tidak dapat dipahami secara terpisah dari relasi sosialnya. Konteks perilaku dipengaruhi faktor universal dan situasional.

Kemudian, Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sifat, cakupan, dan batas pengetahuan manusia. Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan terkait dengan penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Tiga teori kebenaran adalah teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatik.

Adapun isu epistemologi komunikasi adalah:

  • Pengetahuan proporsional; menyatakan segala sesuatu apa adanya
  • Pengetahuan nonproporsional; pengetahuan diperoleh melalui pengenalan atau kesadaran langsung
  • Pengetahuan proporsional empiris,
  • Pengetahuan proporsional nonempiris
  • Pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu.

Selanjutnya tugas deksripsi epistemologi untuk menggambarkan secara akurat ciri-ciri dunia, termasuk pikiran manusia secara empiris (indra) atau rasional (akal). Kemudian ada tugas justifikasi epistemologi untuk memahami apa jenis keyakinan yang dapat dijustifikasi secara rasional dan bagaimana ia dijustifikasi (putusan/alasan/pertimbangan berdasarkan hati nurani).

Sementara, Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas sifat dari nilai dan apa jenis nilai yang terkandung dalam sesuatu hal. Aksiologi adalah asas mengenai cara bagaimana menggunkan ilmu pengetahuan yang secara epistemologi diperoleh dan disusun. Aksiologi adalah suatu kajian terhadap apa itu nilai-nilai manusiawi dan bagaimana cara melambangkannya. Adapun isu aksiologi komunikasi adalah logika, etika, dan estetika.

Nah, adapun kaitan dan posisi masalah antara etika dan logika dengan 3 cabang filsafat ilmu komunikasi (ontologi, epistemologi, aksiologi) adalah “konteks lebih penting daripada teks atau simbol”. Pada dasarnya konteks tidak berlaku diruang yang hampa.

Seperti contoh berita tentang pernyataan salah seorang menteri yang mengatakan bahwa daging mahal makan keong sawah saja sarannya. Konteks sebenarnya hanyalah bercanda, namun diartikan serius oleh masyarakat atau publik.

Hal ini juga dipengaruhi oleh epistemologi atau pengetahuan masyarakat yang sempit, hanya melihat apa yang tampak dipermukaan. Ontologi yang tampak menteri tersebut menyarankan keong sawah daripada ikan yang sudah pasti nilai gizinya, yang tidak tampak sebenarnya keong sawah juga memiliki keunggulan gizi, hanya saja karena kurangnya edukasi sehingga hal ini tidak diketahui.

Nah, aksiologinya masyarakat sebagai komunikan seharusnya beretika yang baik, bijak dalam menanggapi suatu konteks, jangan langsung menilai sesuka hati saja, harus dilihat nilai dan pesan tersirat yang ingin disampaikan.

Lebih menggunakan logika sebelum bertindak dan alangkah lebih baik menteri tersebut sebagai komunikator melihat dan mengetahui terlebih dahulu audiensnya, kemudian memikirkan estetika dalam bertutur kata, menimbang dan memikirkan dengan sangat mendalam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Dan media juga memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi, dan sebisa mungkin informasi yang disampaikan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

No More Posts Available.

No more pages to load.